1. Kasus Hak
Pekerja
ü Perbudakan
Buruh Panci di Tangerang
Praktek
perbudakan buruh pabrik panci di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi,
Kabupaten Tangerang, diduga karena motif ekonomi. Pemilik pabrik ingin untung
besar dengan biaya yang sedikit.
"Sementara
ini diduga motifnya ekonomi," ujar Kepala Kepolisian Resor Kota Tangerang,
Komisaris Besar Bambang Priyo Andogo, Ahad, 5 Mei 2013.
Berdasarkan
keterangan para buruh dan tersangka, menurut Bambang, kerja paksa yang diiringi
dengan penyekapan, gaji rendah, hingga pengabaian hak-hak buruh itu dilakukan
oleh Yuki Irawan, pemilik CV Cahaya Logam, untuk menekan biaya operasional
perusahaan. "Intinya, mereka mau mengeluarkan biaya sedikit, tapi
mendapatkan hasil atau untung yang banyak," kata Bambang.
Meski
begitu, Bambang mengatakan, kesimpulan tersebut masih sementara. Alasannya,
pihak kepolisian masih terus melakukan pemeriksaan secara intensif kepada para
tersangka, termasuk Yuki Irawan. "Terus kami kembangkan dan
didalami," kata dia.
Kepolisian
Resor Tangerang telah menetapkan lima tersangka dalam kasus penganiayaan dan
kekerasan terhadap 25 buruh pabrik panci aluminium dan alat-alat dapur ini.
Pabrik itu digerebek polisi Jumat lalu, 3 Mei 2013, karena menyekap para buruh
dan memaksa mereka bekerja secara tidak wajar selama empat bulan.
Kelima
tersangka itu adalah Yuki Irawan, 41 tahun, pemilik pabrik, dan empat anak
buahnya: Tedi Sukarno (35), Sudirman (34), Nurdin alias Umar (25), dan Jaya
(30). Sudirman adalah bekas buruh asal Lampung yang diangkat Yuki sebagai
mandor.
Polisi
menjerat para tersangka dengan pasal berlapis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yakni Pasal 33 tentang Perampasan Kemerdekaan Orang, Pasal 351 tentang
Penganiayaan, dan Pasal 372 tentang Penggelapan. Mereka juga dijerat
Undang-Undang Perlindungan Anak karena ada empat buruh dengan usia masih di
bawah 18 tahun. Tersangka juga menyekap enam buruh di dalam ruangan terkunci.
Ancaman hukuman terhadap tersangka adalah 8 tahun penjara.
2. Kasus
Iklan Tidak Etis
ü KASUS
ETIKA BISNIS ANTARA TELKOMSEL DAN XL
Salah satu
contoh problem etika bisnis yang marak pada tahun kemarin adalah perang
provider celullar antara XL dan Telkomsel. Berkali-kali kita melihat
iklan-iklan kartu XL dan kartu as/simpati (Telkomsel) saling menjatuhkan dengan
cara saling memurahkan tarif sendiri. Kini perang 2 kartu yang sudah ternama
ini kian meruncing dan langsung tak tanggung-tanggung menyindir satu sama lain
secara vulgar. Bintang iklan yang jadi kontroversi itu adalah SULE, pelawak
yang sekarang sedang naik daun. Awalnya Sule adalah bintang iklan XL. Dengan
kurun waktu yang tidak lama TELKOMSEL dengan meluncurkan iklan kartu AS. Kartu
AS meluncurkan iklan baru dengan bintang sule. Dalam iklan tersebut, sule
menyatakan kepada pers bahwa dia sudah tobat. Sule sekarang memakai kartu AS
yang katanya murahnya dari awal, jujur. Perang iklan antar operator sebenarnya
sudah lama terjadi. Namun pada perang iklan tersebut, tergolong parah.
Biasanya, tidak ada bintang iklan yang pindah ke produk kompetitor selama
jangka waktu kurang dari 6 bulan. Namun pada kasus ini, saat penayangan iklan
XL masih diputar di Televisi, sudah ada iklan lain yang “menjatuhkan” iklan
lain dengan menggunakan bintang iklan yang sama.
Dalam kasus
ini, kedua provider telah melanggar peraturan-peraturan dan prinsip-prinsip
dalam Perundang-undangan. Dimana dalam salah satu prinsip etika yang diatur di
dalam EPI, terdapat sebuah prinsip bahwa “Iklan tidak boleh merendahkan produk
pesaing secara langsung maupun tidak langsung.” Pelanggaran yang dilakukan
kedua provider ini tentu akan membawa dampak yang buruk bagi perkembangan
ekonomi, bukan hanya pada ekonomi tetapi juga bagaimana pendapat masyarakat
yang melihat dan menilai kedua provider ini secara moral dan melanggar hukum
dengan saling bersaing dengan cara yang tidak sehat. Kedua kompetitor ini
harusnya professional dalam menjalankan bisnis, bukan hanya untuk mencari
keuntungan dari segi ekonomi, tetapi harus juga menjaga etika dan moralnya
dimasyarakat yang menjadi konsumen kedua perusahaan tersebut serta harus
mematuhi peraturan-peraturan yang dibuat.
3. Kasus
Etika Pasar Bebas
ü Kasus
Indomie di Taiwan
Akhir-akhir
ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi
kebebasan luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan
diri dalam pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing
untuk berkembang mengikuti mekanisme pasar.
Dalam
persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh
keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar
peraturan yang berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan
produk impor dari Indonesia yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah
serta kualitas yang tidak kalah dari produk-produk lainnya.
Kasus
Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut
mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari
peredaran. Zat yang terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate
dan benzoic acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh
digunakan untuk membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan
telah memutuskan untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga
untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus
Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil
Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah
terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua
Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, di
Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX DPR akan
meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara
luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung
di dalam produk Indomie.
A Dessy
Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung
di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam
benzoat) adalah bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan
tahan lama. Zat berbahaya ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam
pemakaian untuk produk kosmetik sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal
0,15%. Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya
bagi manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih dalam batas
wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila
kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain
kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional
tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan
merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya
untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara
berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar