Kasus-kasus
pelanggaran HAM di Indonesia sebagaimana telah dikemukakan di depan
membawa berbagai akibat. Akibat itu, misalnya menjadikan masyarakat dan
bangsa Indonesia sangat menderita dan mengancam integrasi nasional.
Bagaimana
kita menanggapi kasus kasus pelanggaran HAM di Indonesia? Sebagai warga
negara yang baik harus ikut serta secara aktif (berpartisipasi) dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bangsa dan negaranya, termasuk
masalah pelanggaran HAM. Untuk itu tanggapan yang dapat dikembangkan
misalnya : bersikap tegas tidak membenarkan setiap pelanggaran HAM.
Alasannya:
a. dilihat dari segi moral merupakan perbuatan tidak baik yakni bertentangan dengan nilai - nilai kemanusiaan;
b. dilihat
dari segi hukum, bertentangan dengan prinsip hukum yang mewajibkan bagi
siapapun untuk menghormati dan mematuhi instrumen HAM;
c. dilihat
dari segi politik membelenggu kemerdekaan bagi setiap orang untuk
melakukan kritik dan kontrol terhadap pemerintahannya. Akibat dari
kendala ini, maka pemerintahan yang demokratis sulit untuk di wujudkan.
Meskipun Republik
Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan
kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan
diakui dalam UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun
pelaksanaan hak-hak individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya
karena bangsa Indonesia sedang berada dalam konflik bersenjata dengan
Belanda. Pada masa RIS (27 Desember 1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan
penghormatan HAM, setidaknya secara legal formal, sangat maju dengan
dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima pasal dalam UUD RIS
1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak memungkinkan
untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
Kemajuan
yang sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya
Indonesia menjadi negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan
dicantumkannya tiga puluh delapan pasal di dalamnya. Pada masa
berlakunya UUDS 1950 tersebut, penghormatan atas HAM dapat dikatakan
cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa itu, perhatian bangsa terhadap
masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa itu, Indonesia
menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi Buruh
Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah
diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan
Konvensi Hak Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak
berlakunya kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia
mengalami kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran
itu terutama berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan
mengeluarkan pendapat. Kemudian pada masa Orde Baru lebih parah lagi,
Indonesia mengalami kemunduran dalam penikmatan HAM di semua bidang yang
diakui oleh UUD 1945. Di tataran internasional, selama tiga puluh dua
tahun masa Orde Baru, Indonesia mengesahkan tidak lebih dari dua
instrumen internasional mengenai HAM, yakni Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (1979) dan Konvensi
tentang Hak Anak (1989).
Pada
masa itu dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak
disepakati sebagai keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan
dengan criminal justice (keadilan kriminal), melainkan juga
bidang-bidang keadilan yang lain seperti constitutional justice
(keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan
administratif), political justice (keadilan politik), economic justice
(keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan
historical justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian
lebih umum lebih banyak tertuju pada transitional criminal justice
karena memang merupakan salah satu aspek transitional justice yang
berdampak langsung pada dan menyangkut kepentingan dasar baik dari pihak
korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran HAM tersebut. Di samping
itu, bentuk penegakan transitional criminal justice merupakan elemen
yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada kenyataannya sedang
diupayakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar